Minggu, 27 September 2009

KETUPAT ICON IDUL FITRI

by em.yazid

Tanbihun.com — Darimana sebenarnya asal-usul ketupat? siapa pertama kali yang menemukan dan mempopulerkan ketupat? Seperti tradisi-tradisi lain di indonesia pasti memiliki,sejarah latar belakang, tidak jarang ada makna filosofi dari tradisi-tradisi tersebut. bagaimana dengan ketupat? mari kita simak hasil penelusuran kami di google berikut ini :

Umumnya ketupat identik sebagai hidangan spesial lebaran, tradisi ketupat ini diperkirakan berasal dari saat Islam masuk ke tanah Jawa.

Dalam sejarah, Sunan Kalijaga adalah orang yang pertama kali memperkenalkannya pada masyarakat Jawa. Beliau membudayakan dua kali Bakda, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran. Pada hari yang disebut Bakda Kupat tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda. Setelah sudah selesai dimasak, kupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, menjadi sebuah lambang kebersamaan.

Ketupat sendiri menurut para ahli memiliki beberapa arti, diantaranya adalah mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia, dilihat dari rumitnya anyaman bungkus ketupat. Yang kedua, mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon ampun dari segala kesalahan, dilihat dari warna putih ketupat jika dibelah dua. Yang ketiga mencerminkan kesempurnaan, jika dilihat dari bentuk ketupat. Semua itu dihubungkan dengan kemenangan umat Muslim setelah sebulan lamanya berpuasa dan akhirnya menginjak hari yang fitri.

Rupa (jenis-jenis) Ketupat Indonesia
Ketupat atau Kupat adalah hidangan khas Asia Tenggara yang dibuat dari beras. Beras ini dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa dan dikukus sehingga matang. Ketupat paling banyak ditemui sekitar waktu Lebaran, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa. Ketupat juga sering dihidangkan dengan sate. Bila dihidangkan dengan tahu dan gulai menjadi kupat tahu. Selain di Indonesia, ketupat juga dijumpai di Malaysia, Singapura dan sebagainya.

Di antara beberapa kalangan di Jawa, ketupat sering digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat. Di Bali ketupat sering pula dipersembahkan sebagai sesajian upacara.

1. Ketupek Katan Kapau
Katupek katan yang khas Kapau, yaitu ketupat ketan berukuran kecil yang dimasak dalam santan berbumbu. Ketupat ketan adalah versi rebus dari lemang. Santannya menjadi sampai kental sekali dan merasuk ke dalam ketupat. Ketupat kentan ini bisa dimakan sebagai dessert, tetapi juga bisa dimakan dengan lauk pedas, misalnya gulai itik cabe hijau atau rendang.

2. Ketupat Glabed
Ada lagi sajian rakyat lain di Tegal yang sangat populer, yaitu Kupat Glabed. Kali ini bukan ketupat dari desa Glabed. Kupat glabed adalah ketupat yang dimakan dengan kuah kuning kental. Glabed sendiri sebenarnya berasal dari ucapan orang Tegal bila mengekspresikan kuah yang kental ini. Glabed-glabed!

Ketupatnya dipotong-potong, dibubuhi tempe goreng, dan disiram dengan kuah glabed. Tambahkan sambal bila ingin citarasa pedas. Topping-nya adalah kerupuk mi yang terbuat dari tepung singkong dan taburan bawang goreng. Sebagai lauknya, Kupat Glabed selalu didampingi dengan sate ayam atau sate kerang.

3. Ketupat Betawi (Bebanci)
Masakan paling khas dan unik yang dimiliki masyarakat Betawi adalah ketupat bebanci. Saat ini nggak ada orang yang jual ketupat bebanci. Padahal sangat unik dan enak.

Sesuai dengan namanya, ketupat bebanci adalah masakan dengan unsur utama ketupat. Ketupat ini disantap dengan kuah santan berisi daging sapi dan diberi aneka bumbu seperti kemiri, bawang merah, bawang putih, cabai, dan rempah-rempah.

4. Ketupat Blegong (tegal)
Kupat Blengong (Kupat Glabed dengan daging Blengong, Blengong=Keturunan hasil perkawinan Bebek dan Angsa)

5. Ketupat Bongko (tegal)
Kupat Bongko adalah Ketupat dengan sayur tempe yang telah diasamkan.

6. Ketupat cabuk rambak (solo).
Cabuk rambak adalah ketupat nasi yang diiris tipis-tipis, dan disiram dengan sedikit sambal wijen (dicampur kemiri dan kelapa parut yang terlebih dulu digongseng). Ada yang menyukai sambal yang sangat pedas, ada yang menyukai rasa sambal yang gurih. Rasa sambalnya memang sangat khas. Hidangan ini disajikan dengan kerupuk nasi yang disebut karak.

7 .Ketupat/lontong Sayur
Lontong Sayur. Biasanya Lontong sayur itu artinya santan kental yang gurih, tapi kalo mau sehat (baca: engga mau makan santan) dikasih soun, telur rebus dan ditaburi bawang goreng.*blogkita.net __________________

Minggu, 20 September 2009

Teroris Bukan Mujahid dan Bukan Pula Mujtahid!

Kaum muslimin, semoga Allah membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Di hari-hari ini kita bisa melihat dengan mata kepala kita, bagaimana sejarah perjuangan umat Islam kembali dinodai oleh ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan Islam dan jihad. Dengan seenaknya mereka melakukan tindak pengeboman, penghancuran, serta berupaya untuk mengacaukan ketentraman negeri kaum muslimin dengan kedok jihad dan ijtihad. Padahal Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.

Alangkah cocok sebuah bait syair yang menggambarkan keadaan orang-orang seperti mereka,

Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila
Namun, malang. Ternyata Laila tidak mengiyakan omongan mereka

Begitulah kurang lebih keadaan mereka. Dengan tanpa malu-malu, mereka mengaku sebagai barisan mujahidin dan menobatkan diri sebagai mujtahid. Bagaimana mungkin orang yang gemar menebar kekacauan dan kerusakan di atas muka bumi dengan membunuh nyawa tanpa hak layak untuk disebut sebagai mujahid, apalagi dinobatkan sebagai mujtahid? Allahul musta’an! Di manakah akal mereka?

Orang-orang yang salah sangka

Saudaraku sekalian, marilah kita renungkan barang sejenak fenomena yang menyayat hati ini. Para pemuda yang jahil/tidak mengerti syari’at Islam dengan mudahnya ditipu oleh mujahid dan mujtahid gadungan. Sehingga akhirnya nyawa mereka sendiri pun mereka relakan -dengan aksi bom bunuh diri- untuk memperjuangkan apa yang mereka kira sebagai sebuah jihad dan pengorbanan untuk agama. Aduhai, alangkah malang nasib mereka. Tidakkah mereka ingat akan sebuah firman Allah yang menceritakan keadaan orang-orang seperti mereka, yang bersusah payah melakukan suatu usaha dan menyangka telah mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi agamanya. Padahal kenyataannya mereka adalah orang yang paling merugi amalnya. Allah ta’ala berfirman,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia sementara mereka mengira telah melakukan sesuatu kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib, ad-Dhahhak dan para ulama lainnya bahwa golongan yang termasuk dalam cakupan ayat ini adalah kaum Haruriyah/Khawarij. Meskipun ayat ini juga mencakup celaan bagi Yahudi dan Nasrani. Sehingga Ibnu Katsir menyimpulkan, “Sesungguhnya ayat ini berlaku umum bagi siapa saja yang beribadah kepada Allah namun tidak di atas jalan yang diridhai Allah. Dia menyangka bahwa dia berada di pihak yang benar dan amalnya akan diterima. Padahal, sebenarnya dia adalah orang yang bersalah dan amalnya tertolak.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/151-152])

Haram bicara agama tanpa ilmu!

Saudaraku sekalian, sesungguhnya kemuliaan Islam ini akan ternoda tatkala orang yang bukan ahlinya berbicara tentang sesuatu yang menyangkut ajaran agama. Tidakkah kita ingat firman Allah ta’ala,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra’: 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah angkat bicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah)

Ruwaibidhah bukanlah mujtahid. Mujtahid berbicara dengan ilmu, sedangkan Ruwaibidhah berbicara dan berfatwa dengan kejahilan/kebodohan mereka. Perhatikanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Apabila seorang hakim hendak memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian benar maka dia memperoleh dua pahala. Adapun apabila dia akan memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian tersalah maka dia akan memperoleh satu pahala.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-I’tisham bil Kitab wa Sunnah dari Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu)

al-Hafizh Ibnu Hajar menukil keterangan dari Ibnul Mundzir, beliau mengatakan, “Seorang hakim yang tersalah itu mendapat pahala sesungguhnya hanyalah apabila dia adalah seorang alim/yang berilmu tentang ijtihad kemudian dia pun berijtihad. Adapun apabila dia bukanlah seorang yang alim/berilmu maka dia tidak mendapatkan pahala.” Bahkan apabila dia nekad memutuskan dan mengeluarkan fatwa tanpa ilmu maka dia berdosa, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebelum menukil ucapan Ibnul Mundzir di atas. Beliau juga menukil keterangan dari al-Khatthabi bahwa seorang yang berijtihad akan diberi pahala jika dirinya memang telah memiliki alat-alat/ilmu untuk berijtihad. Orang seperti itulah yang apabila tersalah masih bisa diberi toleransi (lihat Fath al-Bari [13/364])

Syaikh Muhammad bin Husain al-Jizani mengatakan, “Ijtihad tidak boleh dilakukan kecuali oleh seorang yang faqih/ahli hukum agama yang mengetahui dalil-dalil dan tata cara menarik kesimpulan hukum darinya, sebab melakukan penelitian terhadap dalil-dalil tidak mungkin dilakukan -dengan benar- kecuali oleh orang yang memang ahli di dalam bidangnya.” (Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 470).

Terlebih lagi, untuk berijtihad ada syarat-syaratnya yang tidak sembarang orang bisa memenuhinya. Di antaranya adalah: [1] Memahami seluk beluk sumber hukum yaitu al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dsb. [2] Memahami bahasa Arab [3] Mengetahui maksud dari ungkapan umum dan khusus dalam bahasa Arab, muthlaq dan muqayyad. Bisa membedakan antara nash, zhahir, dan mu’awwal. Mujmal dan mubayyan. Manthuq dan mafhum, dsb [4] Dia harus mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengambil kesimpulan hukum, tidak boleh setengah-setengah. Itu adalah sebagian syarat yang terkait dengan orangnya. Masih ada lagi syarat lain yang terkait dengan perkara yang menjadi objek ijtihad, di antaranya: bukan dalam perkara yang sudah ada dalil tegasnya, dalil yang ada dalam perkara tersebut memang masih membuka ruang -tidak dipaksakan- yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran, dsb (lebih lengkap baca di Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 479-484).

Berbuat dosa kok mengharap pahala?

Di manakah letak ilmu pada diri orang yang melakukan bom bunuh diri dan menyuruh orang lain untuk bunuh diri? Padahal Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (Qs. an-Nisaa’: 29)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu alat/senjata maka dia akan disiksa dengannya kelak pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

Ketika mengomentari ulah sebagian orang yang nekad melakukan bom bunuh diri dengan alasan untuk menghancurkan musuh, maka Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hanya saja kami katakan, orang-orang itu yang kami dengar melakukan tindakan tersebut, kami berharap mereka tidak disiksa seperti itu sebab mereka adalah orang-orang yang jahil/bodoh dan melakukan penafsiran yang keliru. Akan tetapi, tetap saja mereka tidak memperoleh pahala, dan mereka bukan orang-orang yang syahid dikarenakan mereka telah melakukan sesuatu yang tidak diijinkan oleh Allah, akan tetapi mereka telah melakukan apa yang dilarang oleh-Nya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, dinukil dari al-Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu Utsaimin, hal. 109)

Di manakah letak ilmu pada diri orang yang membunuh nyawa orang kafir tanpa hak? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barang siapa yang membunuh seorang kafir yang terikat perjanjian -dengan kaum muslimin atau pemerintahnya- maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya itu akan tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jizyah dan Kitab ad-Diyat dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, lafaz ini ada di dalam Kitab al-Jizyah)

al-Munawi menjelaskan bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadits ini merupakan dalil bagi para ulama semacam adz-Dzahabi dan yang lainnya untuk menegaskan bahwa perbuatan itu -membunuh kafir mu’ahad- termasuk kategori dosa besar. Meskipun seorang muslim tidak mesti dihukum bunuh sebagai akibat dari kejahatan itu (Faidh al-Qadir [6/251] as-Syamilah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حتَّى يَشْهَدُوا أنْ لا إلَهَ إلاَّ الله، وأَنَّ مُحَمَّداً رسولُ اللهِ، ويُقيموا الصَّلاةَ ، ويُؤْتُوا الزَّكاةَ ، فإذا فَعَلوا ذلكَ ، عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهُم وأَموالَهُم، إلاَّ بِحَقِّ الإسلامِ ، وحِسَابُهُم على اللهِ تَعالَى

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan alasan haq menurut Islam, dan hisab mereka terserah pada Allah ta’ala.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah menerangkan bahwa di dalam kata-kata “apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku” terdapat dalil yang menunjukkan bahwa orang kafir itu hartanya boleh diambil dan darahnya boleh ditumpahkan. Dan orang yang dimaksud di dalam hadits ini adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang sedang terlibat peperangan dengan pasukan kaum muslimin. Oleh sebab itu misalnya jika anda mengambil harta seorang kafir harbi maka tidak ada hukuman bagi anda. Adapun orang kafir mu’ahad, kafir musta’man dan kafir dzimmi -ketiganya bukan kafir harbi,pen- maka mereka semua tidak boleh diperangi (lihat Syarah Arba’in, hal. 63)

Berjihadlah!

Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya seorang mujahid sejati adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah -termasuk di dalamnya memerangi orang kafir dengan cara yang benar-, bukan dengan melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ

“Orang yang berjihad adalah orang yang berjuang menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu’anhu dinilai sahih oleh al-Albani dalam as-Shahihah [549] as-Syamilah)

Tanyakanlah kepada dirimu: Bukankah Nabi melarang membunuh orang kafir tanpa hak? Bukankah kita wajib taat kepada beliau? Bukankah ketaatan kepada Nabi itu pada hakikatnya merupakan ketaatan kepada Allah? Lalu dengan alasan apa kita menghalalkan darah yang diharamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ditumpahkan? Apakah kita merasa berada di atas agama yang lebih baik dan lebih hebat daripada agama yang diajarkan oleh Rasulullah? Jawablah wahai orang-orang yang masih memiliki akal dan hati nurani!

Sejak kapan membunuh orang kafir tanpa hak disebut jihad? Sejak kapan meledakkan gedung-gedung umum yang menimbulkan jatuhnya korban tanpa pandang bulu disebut sebagai jihad? Tanyakanlah kepada mereka yang sok menjadi mujtahid dan membolehkan ‘jihad’ ala teroris semacam itu: ijtihad ulama manakah yang membolehkan seorang muslim membunuh dirinya dan meledakkan bangunan umum yang berakibat melayangnya nyawa-nyawa tak bersalah? Atau barangkali yang mereka sebut sebagai ulama mujtahid itu memang bukan ulama alias Ruwaibidhah? Waspadalah -wahai para pemuda- dari tipu daya, silat lidah, dan penampilan mereka!

Ingatlah, sesungguhnya jihad yang diridhai Allah adalah jihad di jalan-Nya yang lurus, bukan di jalan yang menyimpang. Allah ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang/berjihad di jalan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik/ihsan.” (Qs. al-’Ankabut: 69)

al-Baghawi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata tentang tafsiran ayat ini, “Yaitu orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Kami niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan untuk meraih pahala dari Kami.” (Ma’alim at-Tanzil [6/256] as-Syamilah)

Maka marilah kita berjihad di atas ketaatan, bukan di atas kedurhakaan!

Hati-hatilah dari al-Qa’adiyah masa kini!

al-Qa’adiyah merupakan salah saktu sekte Khawarij yang memiliki ideologi Khawarij, hanya saja mereka tidak memilih sikap memberontak. Meskipun demikian, mereka menganggap pemberontakan sebagai perkara yang baik, tidak boleh diingkari, bahkan berpahala! Dengan kata lain -dalam bahasa sekarang- mereka menilai bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka -dengan menimbulkan kekacauan dan mengancam penguasa; bom bunuh diri dan semisalnya- bukan perkara yang salah, alias hasil ijtihad yang harus dihargai dan layak untuk diberi pahala [?!] Sampai-sampai salah seorang tokoh mereka di negeri ini berkata, “Menurut saya mereka adalah mujahid. Dan apa yang mereka lakukan itu merupakan hasil ijtihad mereka. Walaupun saya tidak sependapat dengan -hasil ijtihad- mereka.” Inilah ucapan gembongnya Khawarij di negeri ini!

Ketika menjelaskan biografi ringkas Imran bin Hitthan -salah seorang perawi hadits yang terseret paham Khawarij- Ibnu Hajar berkata, “al-Qa’adiyah adalah salah satu sekte dari kelompok Khawarij. Mereka berpendapat sebagaimana pendapat Khawarij, namun mereka tidak ikut melakukan pemberontakan. Akan tetapi mereka menghias-hiasi/menilai baik perbuatan itu.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Sebelumnya, Ibnu Hajar juga menukil ucapan Abul Abbas al-Mubarrid, “Imran bin Hitthan adalah gembong kelompok al-Qa’adiyah dari aliran Shafariyah. Dia adalah khathib/orator dan penya’ir di kalangan mereka.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Imran bin Hitthan inilah yang meratapi kematian Abdurrahman bin Muljam -sang pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu- dengan untaian bait-bait sya’irnya yang heroik. Dikisahkan bahwa pada akhir hidupnya dia kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan paham Khawarij, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Zakariya al-Mushili di dalam Tarikh al-Mushil (lihat Hadyu as-Sari, hal. 577,578, lihat juga Tahdzib at-Tahdzib [8/128] as-Syamilah)

Ibnu Hajar mengatakan,

والقَعَدية الذين يُزَيِّنون الخروجَ على الأئمة ولا يباشِرون ذلك

“al-Qa’adiyah adalah orang-orang yang menghias-hiasi perbuatan pemberontakan kepada para pemimpin -umat Islam- dan mereka tidak ikut terjun langsung dalam tindakan tersebut.” (Hadyu as-Sari, hal. 614 cet Dar al-Hadits)

as-Syahrastani mengatakan,

كل من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يُسمى خارجياً سواء كان الخروج في أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين بإحسان والأئمة في كل زمان

“Setiap orang yang memberontak kepada pemimpin yang sah yang disepakati oleh rakyat sebagai pemimpin mereka maka dia disebut sebagai Khariji (kata tunggal dari Khawarij). Sama saja apakah dia melakukan pemberontakan itu di masa sahabat masih hidup kepada para pemimpin yang lurus atau setelah masa mereka yaitu kepada para tabi’in yang senantiasa mengikuti pendahulu mereka dengan baik serta para pemimpin umat di sepanjang masa.” (al-Milal wa an-Nihal [1/28] as-Syamilah)

Salah satu pemikiran Khawarij yang berkembang saat ini -terutama di kalangan sebagian pemuda Islam yang bersemangat tapi tanpa ilmu- adalah pendapat yang membolehkan -tidak harus- untuk memberontak kepada pemimpin muslim yang zalim (lihat mukadimah kitab al-Khawarij wal Fikru al-Mutajjaddid karya Syaikh Abdul Muhsin bin Nashir al-Ubaikan, hal. 6). Sebagaimana pula keterangan semacam ini pernah kami dengar dari perkataan Syaikh Abdul Malik Ramadhani dalam sebuah rekaman video ceramah beliau ketika memberikan pelajaran kitab asy-Syari’ah karya Imam al-Ajurri.

Inilah sekelumit nasihat dan pelajaran bagi kita semua. Semoga masih ada telinga yang mau mendengar dan hati yang masih mau menerima kebenaran. Sebagian sumber tulisan ini kami ketahui dari buku Madarik an-Nazhar fi as-Siyasah karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani, serta buku Mereka adalah Teroris susunan Ust. Luqman Ba’abduh, semoga Allah menerima amal kita dan mereka, serta mengampuni dosa kita dan mereka.

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar, dan karuniakanlah kepada kami ketaatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami yang salah itu salah, dan karuniakanlah kepada kami keteguhan sikap untuk menjauhinya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Yogyakarta, 17 Sya’ban 1430 H

***

Penulis: Ustadz Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Jumat, 18 September 2009

Takbiran, H. Nanang Kosim

JIFASMART BLOG: Dowload Takbiran, H. Nanang Kosim

Minggu, 13 September 2009

Prgmatisme dan Apatisme MAHASISWA INDONESIA Dalam Kehidupan KAMPUS


Kutipan Artikel dari Dayoe.wordpress.com.240,2008.
Oleh: Dyah Ayu Sitoresmi*

“I believe that education is the fundamental method of social progress and reform….society can formulate its own purposes, can organize its own means and resources, and thus shape itself with definiteness and economy in the direction in which it wishes to move” (John Dewey in My Pedagogic Creed, 1897)

Berfikir Kritis dan Berani Bertindak adalah Kita (Syahrir)

Pendahuluan

Pragmatisme merupakan kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan,dsb) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia dan seringkali mampu memberikan penjelasan yang berguna terhadap suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis<1>. Sedangkan apatisme biasa muncul untuk merefleksikan sikap yang acuh tidak acuh dan ketidakpedulian terhadap suatu permasalahan atau keadaan yang terjadi<2>. sekalipun bertolak berlakang, kata-kata tersebut merupakan dua istilah ladzim yang biasa dipakai oleh banyak orang untuk menggambarkan kekecewaan dan keadaan yang semakin menurun dari aktifitas yang biasa dilakukan.

Pragmatisme dan apatisme sudah mulai banyak menghinggapi sikap dan tindakan kaum-kaum muda intelektual bangsa dalam menilai suatu permasalahan baik yang terjadi di dalam ruang lingkup terdekat mereka di dalam dunia pendidikan seperti kampus dan secara bersamaan mampu memaksa kampus sebagai wadah pendidikan profesional untuk memenuhi berbagai macam tuntutan mahasiswa yang ada. Kaum-kaum tersebut beranggapan bahwa hal tersebut sebagai sesuatu hal yang lumrah di dalam era tuntutan ini. Mengapa? Karena percepatan arus teknologi yang tanpa batas dan arus informasi yang men”dewa”kan kebebasan berekspresi; tidak membatasi setiap orang untuk menuntut haknya mendapatkan akses informasi yang tersedia. Dengan adanya globalisasi, dan tersedianya banyak layanan untuk menerima unsur-unsur globalisasi; seringkali menjadikan kampus memperketat birokrasi yang ada untuk menahan lajur arus globalisasi tersebut.

Terpusatnya dosen-dosen dengan banyak gelar di satu tempat, dan lengkapnya akses atau peralatan pendidikan yang di terima di dalam suatu kampus, juga menjadikan sikap instan dan tanpa berfikir panjang menghinggapi kaum-kaum muda intelektual. Akibatnya, keinginan untuk mendapatkan kekuasaan terhadap suatu jabatan, dilakukan tanpa adanya persaingan yang bersih. Salah kaum elitkah? Mengingat rakyat bawah yang berkecenderungan untuk selalu mengikuti sikap dan tindakan kaum elitnya; atau mungkin salah rakyat bawah yang melakukan tindakan kaum elit tanpa memfilter terlebih dahulu apakah tindakan tersebut patut untuk ditiru atau tidak? Salah siapa dan mengapa, merupakan pertanyaan yang akan coba penulis jawab di dalam paparan karya tulis ini, terlebih dengan semakin besarnya sikap pragmatisme dan apatisme mahasiswa di dalam kehidupan kampus.

Tiga Kebijakan Kehidupan Kampus Masa Kini

Kampus, identik dengan kehidupan akademik. Kehidupan mahasiswa yang beragam dan unik, serta dalam setiap langkahnya pasti membawa cerita yang berbeda. Ada beragam sisi yang bisa kita lihat, sisi yang mampu membawa setiap insan mahasiswa yang terlibat di dalamnya untuk bercengkrama, berdiskusi, berpolitik kampus, ataupun hanya sekedar datang dan pulang tanpa membawa kesan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus, seringkali dijadikan sebagai ajang perdebatan mengenai seberapa besar kepentingan mahasiswa terpenuhi dan seberapa tersalurkannya aspirasi mereka atas kebijakan itu sendiri.

Kampus, memiliki dunianya sendiri. Dunia dewasa yang penuh tantangan dan pilihan untuk memilih (being a winner or a looser). Dunia bagi mahasiswa untuk mencari dan membentuk jati dirinya. Suka ataupun tidak, hal tersebut memang terjadi di dalam kampus, dan memaksa banyak orang untuk mulai berfikir apa yang ada di dalam kehidupan kampus dewasa ini.

Pesta, buku dan cinta. Tiga paket kebijakan yang tidak pernah lepas dalam kehidupan kampus, dan identik dengan kehidupan mahasiswanya. Pesta bisa di artikan secara harafiah ataupun secara occasionally disesuaikan dengan keadaan yang terjadi. Tetapi, pesta sudah diidentikkan dengan keadaan bersenang-senang untuk menghabiskan uang dan mendapatkan kepuasan sesaat untuk kemudian ‘menagih’ pada hari-hari berikutnya. ‘Menagih?’ Well, itu kata-kata bagus yang penulis rasa bisa dimasukkan juga untuk membahas tiga paket kebijakan tersebut secara lebih detail.

Bersenang-senang atau pesta bisa dilakukan dengan banyak cara. Dengan didukung oleh jiwa muda mahasiswa yang menginginkan kebebasan dan penuh dengan sikap pemberontakan, pesta merupakan kegiatan menunjang yang mampu membawa aura orang dewasa untuk menjadi lebih muda dan bergairah. Adanya banyak kategori pesta yang bisa diartikan disini. Misalnya saja, pesta dugem. Dengan alunan musik, suasana malam yang dingin dan minuman beralkohol yang menghangatkan; pesta memiliki keistimewaan tersendiri. Dengan didukung oleh faktor masalah kehidupan yang berat dan keinginan untuk melepaskan beban permasalahan menumpuk, memaksa banyak orang untuk memilih pesta dugem sebagai salah satu alternatif yang dirasa mampu memenuhi sisi kesenangan yang hilang.

Musik memang tidak pernah lepas dari pesta, karena dengan musik, pesta yang diadakan menjadi lebih meriah dan tentunya saja menjadi lebih menyenangkan. Mahasiswa terus terang sangat menggandrungi musik dan mencari aliran musik yang sudah tentu sesuai dengan kepribadiannya. Munafik jika ada orang yang menyatakan dirinya tidak suka musik. Di dunia dugem, musik dialunkan untuk membawa pecinta dugem berbaur dengan komunitasnya. Selain itu, dinginnya malam dan minuman alkohol, merupakan pelengkap yang direfleksikan sebagai kekuatan dunia dugem yang dicari. Jenuhnya keseharian di dalam kampus, deadline tugas yang menumpuk, masalah organisasi dan percintaan yang tidak kunjung usai, merupakan faktor-faktor meningkatnya kecenderungan mahasiswa untuk menyukai pesta dugem. Dan kehidupan kampus, akan terasa sepi tanpa mengenal dugem.

Tetapi pertanyaan selanjutnya yang akan muncul adalah apakah harus menyelesaikan semua beban dan jenuhnya keseharian di dunia kampus dengan pesta dugem? Maka pengertian pesta yang lainnya muncul kemudian. Tidak banyak yang setuju bahwa dugem merupakan cara untuk menghilangkan penat yang ada, karena yang justru terjadi adalah pelarian sementara yang pada akhirnya justru akan mengarah kepada ‘ketagihan’. Sehingga pesta kemudian diartikan sebagai kegiatan bersenang-senang tanpa alkohol. Bagi sebagian mahasiswa, hanya dengan berjalan santai bersama-sama, menikmati pesta diskon di mal-mal, makan di banyak tempat dan diakhiri dengan ngobrol bareng, sudah merupakan pesta dan telah mampu menghilangkan penat mereka terhadap kehidupan kampus. Sehingga terlepas dari pesta apapun, kegiatan bersenang-senang merupakan kegiatan yang mampu melengkapi kebutuhan mahasiswa dewasa ini.

Buku, memang bagian penting dari mahasiswa; karena dengan buku mahasiswa akan menjadi lebih intelektual dan berbobot. Pengetahuan yang luas, prestasi yang memuaskan, merupakan hal yang didapatkan dari buku. Kampus sangat mendukung banyaknya referensi bacaan yang diharapkan mampu menjadikan mahasiswa merasa puas untuk memilih unversitas yang mereka masuki, serta sangat membantu mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas akademiknya. Tetapi di sisi lain, buku ternyata merubah kepribadian seorang mahasiswa. Misalnya, seorang mahasiswa dulunya sangat bijaksana dan memandang segala sesuatunya dengan netral, tetapi setelah dia mengenal buku dan mempelajari buku tertentu dan akhirnya ‘ketagihan’, yang terjadi selanjutnya adalah mahasiswa tersebut menjadi condong dan beraliran kiri ataupun kanan.

Ada banyak hal yang bisa kita dapatkan melalui buku, karena buku merupakan jendela dunia. Dan mahasiswa adalah kaum muda intelektual yang harusnya memahami pentingnya membaca buku.

Cinta anak kampus, merupakan kosakata yang paling banyak mendapatkan perhatian dari banyak kalangan. Banyak pengamat film misalnya, mengatakan bahwa cinta anak kampus merupakan tema yang paling banyak memikat hati penonton karena realita anak muda menuntut hal tersebut. Atau pemerhati musik beranggapan bahwa cinta merupakan bagian lirik yang paling banyak diminati oleh kaum muda.

Begitu pula yang terjadi dalam relita kehidupan kampus. Mahasiswa yang dalam masa pubertas, sudah mulai mencari cinta untuk melengkapi sisi kehidupannya. Ingin ada yang memperhatikan, ingin ada yang menyayangi dan berbagi, merupakan keinginan lumrah dari setiap mahasiswa saat ini. Namun seringkali tuntutan lingkungan anak muda untuk berbagi cinta justru menjerumuskan mahasiswa itu sendiri ke dalam jeratan cinta. Jeratan cinta? Kosakata apalagi ini? Ya, jeratan cinta seringkali memaksa mahasiswa untuk tidak berfikir rasional dan menganggap bahwa menjomblo (tanpa pacar) adalah hal yang tabu; sehingga seringkali mahasiswa menjadi salah kaprah dalam mencari cinta yang sesungguhnya. Salah kaprah yang dimaksud adalah mahasiswa seringkali memaksakan diri mereka untuk memiliki pacar tanpa mempunyai perasaan, pada akhirnya juga hal ini yang menjadikan mereka ‘ketagihan’. Yang terjadi kemudian adalah, prestasi mereka terganggu, kehidupan sosial mereka terganggu dan tentunya jiwa mereka juga terganggu. “Jangan pernah bermain cinta, karena mungkin cinta yang akan mempermainkan anda”, mungkin itu kalimat yang bisa dijadikan bahan renungan oleh mahasiswa di dalam kehidupan kampus.

Tiga kebijakan kehidupan kampus masa kini, dirasakan telah mampu melengkapi kehidupan mahasiswanya. Namun, hal mana dari kebijakan tersebut yang menjadi prioritas, kembali diberikan kepada masing-masing mahasiswa. Karena pilihan untuk mendahulukan pesta, buku ataupun cinta, pastilah memiliki konsekuensi masing-masing yang mungkin kadar dari konsekuensi tersebut juga ditentukan oleh mahasiswa itu sendiri melalui besar atau kecilnya intensitas dan keinginan mereka untuk ikut terlibat di dalamnya.

Globalisasi Informasi dan Pengaruhnya Terhadap Mahasiswa

Secara historis globalisasi berarti meluasnya pengaruh suatu kebudayaan atau agama ke seluruh penjuru dunia. Namun konsep dan istilah globalisasi yang digunakan semenjak tahun 1990-an, tidak dapat dipahami berdasarkan pengertian tersebut. Sebab, dalam istilah globalisasi saat ini terkandung sejumlah perkembangan terbaru di dunia, yang ditandai oleh sejumlah besar tendensi sosiologis yang amat kuat, yang tidak dikenal dalam masa-masa sebelumnya.♥ >

Berbagai perkembangan yang terdapat dalam kandungan istilah globalisasi belum seluruhnya dapat diidentifikasi secara ilmiah dan secara budaya. Namun sudah ada sejumlah besar gejala yang terasa di depan mata, <4> seperti globalisasi informasi yang ada saat ini. Dengan semakin berkembangnya teknologi sebagai akibat dari globalisasi informasi, menjadikan pengguna media elektronik dapat dengan mudah mengakses berbagai informasi yang terjadi di belahan dunia lain tanpa harus kita yang berada di sana.

Tidak adanya pembatasan, terlebih pada media informasi seperti internet, menjadi memungkinkan pengiriman jumlah informasi tanpa batas dan dengan biaya yang jauh lebih murah. Hal ini menimbulkan efek sosial budaya yang meluas dan sulit untuk diantisipasi. Terlihat disini bahwa tanpa disengaja, dan tanpa dimaksudkan, internet telah berperanan sangat besar sebagai the great equalizer, yang selalu menjadi cita-cita dalam pendidikan, tetapi juga selalu gagal diwujudkan oleh pendidikan. Pendidikan lebih sering memantapkan perbedaan sosial daripada mengurangi atau menghilangkannya.<5>

Dalam dunia pendidikan dan kehidupan kampus, pesta, buku dan cinta, menjadi sedemikian digemari oleh mahasiswa. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh adanya perkembangan globalisasi informasi yang tanpa batas. Dengan pesatnya globalisasi informasi, akses untuk mendapatkan berbagai kemudahan, memanjakan semua penggunanya; terlebih untuk kaum muda yang haus akan rasa ingin tahu. Budaya intelektual yang menumbuhkan ide – ide kritis baik itu dalam diskusi, tulisan ataupun organisasi semakin tidak menarik minat mahasiswa. Hal ini terbukti dengan semakin sedikitnya jumlah mahasiswa yang mengikuti berbagai diskusi yang diadakan oleh kampus, ataupun jumlah mahasiswa yang berminat untuk menulis di dalam jurnal mahasiswa yang sudah tersedia.

Bertaburannya media – media informasi yang lebih banyak membawa unsur hiburannya dari pada wacana – wacana politik semakin menyingkirkan pula sikap kritis mahasiswa terhadap isu yang sedang terjadi. Diskusi – diskusi ataupun seminar – seminar yang selalu mengangkat isu – isu serta wacana yang sedang terjadi hanya ditanggapi oleh sebagian kecil mahasiswa sedangkan sebagian besarnya lagi lebih asik nongkrong di mall atau cafe – cafe menceritakan gosip selebritis terbaru<6> ataupun gosip seputar kampus. Lebih peduli dengan infotainment yang gencar di tayangkan di televisi ketimbang dialog-dialog permasalahan dalam dan luar negeri, telah berkembang menjadi sesuatu yang sulit untuk diatasi.

Salahkah globalisasi informasi dengan keadaan yang demikian? Tidak ada yang bisa menyalahkan keadaan yang demikian. Perkembangan informasi dan lainnya, tidak bisa dipungkiri akan selalu membawa dampak yang positif dan negatif, karena kutub positif dan negatif akan selalu berada di sana untuk saling melengkapi. Namun, yang harus dilakukan kemudian adalah bagaimana meminimalisir dampak negatif tersebut dan menjadikan kembali mahasiswa sebagai kaum intelektual yang bukan hanya peduli terhadap diri sendiri, tetapi juga terhadap permasalahan bangsanya. Atau mungkin saja, keenganan mereka untuk mengurusi permasalahan bangsanya adalah sudah terlalu banyaknya masalah yang terjadi tanpa penyelesaian yang berarti. Akibatnya, mereka lebih cenderung untuk menikmati globalisasi informasi yang semakin mendekatkan mereka pada pesta, buku dan cinta.

Pragmatisme dan Apatisme Kaum Muda Intelektual

Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa pragmatisme dan apatisme muncul karena banyak faktor, baik karena semakin pesatnya akses kemudahan dari globalisasi informasi yang berkembang saat ini; atau bahkan sebagai bentuk reaksi lanjutan dari kekecewaan kaum muda intelektual terhadap permasalahan di dalam negeri ini. Pragmatisme dan apatisme, entah apapun pengertian terminologinya, pastilah seringkali diidentikkan dengan politik. Sedangkan politik sendiri, tidak akan pernah lepas dengan kekuasaan (power).

Terdapat banyak aktor yang turut andil dalam mengatur pergerakan di dalamnya. Salah satunya adalah mahasiswa sebagai penyokong perubahan politik itu sendiri. Keberadaan mahasiswa, baik di dalam dan di luar layar pergerakan perpolitikan, tidak pernah dianggap sebagai sebuah hal yang maya belaka. Walaupun kita semua tahu, tidak semua mahasiswa mengetahui politik dalam arti yang sebenarnya. Dari tuturan klasik dosen, ataupun kisah faktual ketatanegaraan; setiap mahasiswa memiliki definisi yang berbeda-beda dalam menafsirkan politik itu sendiri. Pengetahuan dan ilmu yang dimiliki oleh mahasiswa merupakan sebuah parameter tersendiri yang dapat dijadikan sebagai sebuah tolok ukur dalam menilai realita perpolitikan di dalam kampus atau bahkan untuk ruang lingkup yang lebih luas, yaitu pada tingkat ketatanegaraannya.

Ada banyak hal juga yang melatarbelakangi munculnya sikap pragmatisme dan apatisme kaum muda intelektual dewasa ini. Misalnya saja jika penulis kaitkan sedikit dengan keadaan perpolitikan Indonesia saat ini, budaya amplop untuk memenangkan proyek, budaya melakukan rapat tanpa maksud yang jelas demi hanya untuk menghabiskan anggaran yang diberikan, dan hal-hal lainnya yang dilakukan oleh aktor politik di Indonesia; jika ditarik sedikit kebelakang, pastilah juga berkaitan dengan kehidupan aktor-aktor pollitik tersebut pada jaman mahasiswa. Akibatnya, budaya tersebut menjadi mengakar dan sulit untuk di lepaskan. Salah elit yang dulunya juga bertindak demikian, atau justru salah kaum intelektual muda yang awalnya mengkritik mereka tetapi begitu mereka dihadapkan pada kekuasaan juga malah bertindak hal yang sama? Penulis pribadi pun takut untuk menjawabnya. Kenapa? Karena ketakutan untuk mengkritik akan berbalik arah pada penulis nantinya.

Tetapi itu dulu, ketika Soe Hok Gie dan teman-temannya masih berjuang untuk menjadikan perpolitikan di negeri ini menjadi lebih baik. Bahkan melalui tulisan kritisnya mengenai “Mahasiswa UI bopeng sebelah” karena ada pertarungan dua kubu kepentingan yang ingin menonjolkan back ground gerakannnya untuk menguasai politik kampus. Lalu apa yang akan dia katakan kemudian melihat realita yang terjadi saat ini, dimana sudah sangat jarang ditemui mahasiswa kritis yang mengkritik tanpa ingin mendapatkan reward atasnya?

Seperti yang telah terjadi kemudian bahwa akibat dari arus globalisasi informasi tanpa batas, menjadikan mahasiswa untuk apatis, lebih bersikap cuek dan semau gue. Sehingga mungkin lebih tepat apabila dikatakan bahwa sebagian besar mahasiswa Indonesia bopeng. Lihatlah bagaimana sering terjadi rebutan masa dunia kampus yang sudah melibatkan politisi, tetapi usaha untuk kembali membawa dunia intelektual yang kondusif belum kelihatan. Dan kemudian dibarengi oleh sikap pragmatis dari mahasiswa itu sendiri yang lebih mementingkan tujuan praktisnya tanpa berfikir lebih panjang sebab-akibat yang akan terjadi di belakangnya.

Tetapi, tidak pernah tidak, mahasiswa yang sudah berpedoman pada tiga kebijakan kehidupan kampus, dan pengaruh globalisasi ekonomi bagi kehidupan pribadi mereka, tetap akan memegang dan memainkan peranan yang sangat penting sebagai agen of chance dan agen of modernization dinamika kehidupan masyarakat saat ini.

Contoh lainnya adalah dewasa ini, demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Tak jarang aksi tersebut diikuti dengan tindak kekerasan. Yang dapat terlihat dari kasat mata masyarakat perkotaan adalah sudah tidak murninya lagi aksi tersebut, sebagai akibat dari adanya pihak-pihak di luar mahasiswa yang kadang kala ikut menungganginya sebagai tindakan atas kepentingan pribadi atau kelompok. Orasi-orasi yang dikumandangkan ada kalanya tidak relevan, terlalu hiperbolis, terlalu memaksa, dan bersifat subyektif (tidak berdasarkan data); sehingga tak jarang pemerintah ataupun pihak yang berkuasa cenderung melecehkan mereka.

Dalam ruang lingkup tertentu, sebagian mahasiswa Indonesia mulai menganggap demonstrasi ataupun penyaluran orasi sebagai sesuatu yang membosankan, membuang-buang waktu, dan tidak bermanfaat. Hal ini terlihat dari banyaknya opini mahasiswa terhadap rekan-rekannya yang berdemonstrasi di luar kampus. Mereka berkecenderungan untuk berfikir bahwa belajar di kampus, mendapat indeks prestasi yang tinggi agar cepat lulus, sehingga dapat secepatnya merasakan dunia kerja; adalah sesuatu yang utama dan sangat dinanti-nantikan. Tapi ketika mereka memimpikan hal tersebut, mereka lupa bahwa idealisme dan daya kritis –hal yang sangat melekat dengan jiwa mahasiswa- menjadi terpendam atau boleh jadi hilang. Jika semua hal ini terjadi, maka pesta, buku dan cinta sebagai tiga kebijakan kehidupan kampus bisa dianggap menjadi tidak seimbang.

Mulai tumbuhnya gejala pragmatisme dan apatisme dalam pergerakan mahasiswa tersebut, juga terlihat dari kecenderungan untuk tidak perduli dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Berkembangnya sikap individualistik yang berkembang ke arah hedonistik mengakibatkan pasifnya keinginan untuk ikut terlibat dalam gerakan mahasiswa. Sehingga tidak jarang kemudian, ketika mereka mencoba untuk berpolitik, aktivitas politiknya lebih didasari pada anggapan bahwa politik itu kotor dan tidak manusiawi. Hal tersebut secara tidak langsung tercermin pada orasi-orasi yang diutarakan. Jika hal tersebut dibiarkan begitu saja, akan timbul rasa tidak percaya dan curiga terhadap siapa saja yang menjalankan roda pemerintahan ini.

Kita semua tidak bisa memungkiri, seseorang yang pada dasarnya mempunyai prinsip untuk menjalankan politik dengan jujur, transparan, dan mengenali aspirasi rakyatnya; jika berhadapan langsung dengan kekuasaan yang mengekangnya dan sistem perpolitikan itu sendiri –yang mana dalam pengambilan kebijakan harus mengorbankan satu pihak demi pihak lain- pasti akan terdesak dan pada gilirannya akan mengamininya.

Mewabahnya pragmatisme dan apatisme mahasiswa Indonesia sekarang ini, secara tidak langsung bisa berdampak menekan tingkat kreativitas dan objektivitas -yang melatarbelakangi munculnya sikap kritis terhadap masyarakat dan Pemerintah- mahasiswa itu sendiri.

Dampak Sikap Pragmatisme dan Apatisme yang Mengakar

Munculnya ketakutan bahwa kecenderungan sikap instan dan tanpa berpikir panjang akan mampu mengarah ke sikap pragmatisme dan apatisme dari kaum intelektual mahasiswa, memang patut di waspadai. Realita yang terjadi belakangan ini mengenai semakin kerasnya globalisasi informasi menyerang mahasiswa tanpa adanya filter yang bisa menyaringnya, akan mampu mengoyak realita dengan mimpi-mimpi belaka.

Lihatlah bagaimana antusiasnya kawula muda untuk menonton tayangan MTV atau katakan cinta dari pada berduyun duyun melihat dan merasakan langsung dialog – dialog politik dalam negeri.<7> Lihatlah pula bagaimana kaula muda berbondong-bondong untuk menonton konser musik, dibandingkan harus duduk mendengarkan seminar mengenai keadaan perpolitikan atau permasalahan di dalam negerinya. Mahasiswa sering lupa bahwa ketika mereka lebih senang menikmati pesta, dan mereka sudah enggan untuk mendengarkan atau mungkin mengkritik perpolitikan di negerinya, mereka tidak sadar bahwa masa depan negaranya di tentukan oleh tangan-tangan mereka.

Apa jadinya pula ketika kebijakan pesta, buku dan cinta tidak dapat berjalan seimbang? Sedangkan pergerakan globalisasi informasi semakin meyebar tanpa pegangan. Yang ada adalah kaum muda melarikan diri dari masalah dan meninggalkan bopeng-bopeng yang semakin menganga dan menyerahkan sepenuhnya hanya kepada harapan-harapan palsu. Saling menyalahkan, kemudian menjadi budaya baru yang mengakar mengikuti sikap instan, pragmatisme dan apatisme yang sekarang sudah mulai menyebar.

Penyadaran untuk kembali mengkondusifkan suasana berpikir kritis dan berani bertindak membutuhkan waktu tidak sebentar, namun usaha – usaha menghidupkan kembali melalui diskusi – diskusi kecil yang bisa menjadi bola salju yang besar masih terus berjalan dengan masih hidupnya organisasi pro demokrasi yang pernah jaya pada jamannya. Selain itu pola pikir yang tumbuh dalam jiwa – jiwa muda yang progresif harus bisa menggugah sebagian mahasisiwa lainnya untuk sama – sama bergerak membangun bangsa dengan kemampuan berkarya masing – masing.<8>

Adalah tugas bagi kita untuk tidak membiarkan hal tersebut menyebar atau bahkan mengakar lebih dalam lagi. Karena mahasiswa Indonesia di dalam kehidupan kampus yang seimbang, adalah harapan rakyat dalam mengontrol jalannya pemerintahan dengan menjunjung moralitas, bersih, dan mampu membawa Negaranya ke arah yang lebih baik.

Penutup

Istilah pragmatis dan apatisme mahasiswa di dalam kehidupan kampus sering menjadi perdebatan yang serius bagi sesamanya. Menanggapi derasnya arus globalisasi informasi yang masuk ke dalam dunia-dunia kampus juga di dukung oleh kebijakan yang melegalkan pesta, buku, dan cinta di dalam kehidupan kampus. Adalah hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa pesta, buku, dan cinta memegang peranan yang sangat penting dalam menciptakan gejala-gejala tersebut. Adanya pilihan-pilihan untuk menjadikan salah satunya sebagai prioritas, merupakan konsekuensi yang akan di hadapi oleh masing-masing mahasiswa. Tetapi ketika semuanya menyerahkan hal tersebut kepada individu masing-masing tanpa didasari oleh keinginan untuk memperbaiki dan memperhatikan keadaan sosial yang terjadi di lingkungannya; maka apalah jadinya bangsa ini nantinya?

* Mahasiswi Semester 6 Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Social dan Ilmu Politik. Npm: 2003330195



DAFTAR PUSTAKA

Website:

1. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1004/07/0802.htm.
2. http://isola-pos.upi.edu.

Buku:

Kamus Besar Bahasa Indonesia., 1989,. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Balai Pustaka.

1. Kamus besar bahasa Indonesia, departemen pendidikan dan kebudayaan. 1989. balai pustaka.

2. Ibid

3. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1004/07/0802.htm. Johan P. Wisok, “Globalisasi, Informasi dan Akibatnya”. Diakses tanggal 29 April 2006 jam 08.45 WIB.

4. ibid

5. ibid

6. http://isola-pos.upi.edu. Iden wildensyah,. “Apatisme Dan Potret Kelam Mahasiswa” diakses tanggal 28 April jam 23.00 WIB.

7. Iden wildensyah, loc. cit.

8. ibid


Posted at 07:03 pm by penakayu

SEBUAH INSPIRASI


CATATAN, By, zulkhairi/TI 81


Tradisi persaudaraan se-almamater atau ikatan alumni telah menjadi budaya yang sangat tua, mungkin setua sejarah pendidikan tinggi di dunia ini. Hal ini misalnya dapat dilihat dari penggunaan moto Alma Mater di universitas tertua di dunia, yaitu Universitas Bologna di Italia yang didirikan pada tahun 1088. Di negeri-negeri maju, para alumni yang telah sukses dan berpengaruh kuat di bidang pemerintahan atau bisnis banyak yang sangat peduli dan bangga terhadap almamaternya. Tidak jarang sebagian dari para alumni sukses tersebut menyumbangkan sebagian dari kekayaan yang dimilikinya untuk membantu pengembangan kampus almamaternya. Sebagai ibu asuh, pihak almamater pun juga dengan bangga menambahkan nama atau bahkan mengganti nama jurusan atau fakultasnya demi kebanggaannya atas salah satu lulusannya. Sebagai contoh, nama College of Agriculture and Home Economics di Universitas Arkansas diganti menjadi Dale Bumpers College of Agricultural, Food, and Life Sciences. Dale Bumpers adalah salah seorang senator Amerika Serikat yang cukup berpengaruh dari Negara Bagian Arkansas dan sekaligus alumnus dari College of Agriculture and Home Economics, Universitas Arkansas. Demikian juga, nama J. William Fullbright College of Arts and Sciences di universitas yang sama adalah penghargaan atas J. William Fullbright, salah seorang senator paling berpengaruh di Amerika Serikat yang salah satu karya terkenalnya antara lain adalah Fullbright Scholarship Program di AS yang diprakarsainya pada tahun 1945.

Dari gambaran hubungan antara alumni dan alma mater di atas, sangatlah jelas betapa pentingnya ikatan dan komunikasi yang baik antara Akademis dan lulusannya. Terlebih-lebih di era modern di mana networking merupakan salah satu unsur penentu penting untuk kesuksesan seseorang di banyak bidang.

kita semua tentunya mengharapkan bahwa setiap dosen di ATIP dan penunjangnya juga dapat melaksanakan dan menghayati dengan penuh rasa cinta perannya sebagai “ibu-asuh” yang bertanggung jawab. Dari dedikasi para “ibu asuh” inilah dapat diharapkan akan lahir “putera-puteri” berkualitas yang kelak pada saatnya tidak akan melupakan almamaternya. Dari sinilah kejayaan sebuah kampus sebagai almamater akan terwujud. Barangkali inilah impian kejayaan para alumni Cornell University seperti yang tergambar di dalam syair lagu alma- mater kebanggaan mereka:

Far above Cayuga’s waters
With its waves of blue
Stands our noble alma mater
Glorious to view.

BRAVO ATIP ALMAMATER KU....!!!!!.

Jumat, 11 September 2009

Kontak Jodoh Islam - siapnikah.com

Kontak Jodoh Islam - siapnikah.com

Shared via AddThis